Kenangan masa kuliah

 Kamis di bulan, April 1998. Hujan tak juga reda. Aku gelisah berharap hujan segera reda. Hari ini akhir dari ujian semester ku. Gelar sarjana sosial terus membayangi diri ku di tahun ini.

Para pembaca, kenalan diriku. Aby. Singkat saja nama kusebut. Agar menghindari rasa marah dan benci dari mereka yang pernah bergelut dan berpeluh keringat di kos-kosanku.

Orang tua dulu, bilang, kalau mau meminta hujan carilah kodok. Aku pun bingung bilang mau meminta hujan reda, apakah harus membunuh kodok.

Nada pesan singkat membuyarkan lamunan dalam harapan kepada hujan agar reda. “Kau mau wisuda tidak. 15 menit lagi waktu tersisa untuk mata kuliah akhir.” Begitu isi pesan singkat yang kubaca dari hape merek Nokia butut milik. Si pengirim adalah, Listi. Dia temen satu kabupaten dengan ku yang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta tak terkenal di Kota Medan .

“Aku terjebak hujan di kos.” Balasan sms ku tak sampai. Ternyata pulsa di handphone sudah habis. “Sial, mana duit gak ada lagi,” aku membatin.

“Persetanlah. Gak jadi wisuda gak apalah.” Aku pun merebahkan diri di kasur kusam yang sudah melar. Hujan makin deras. Halilintar memecah kota ini. Aku mengutuk hari ini, memaki dan mengumpat dengan teriakan tak mampu menandingi suara gemuruh. Aku pun lelah berteriak. Hingga terpejam dan terlelap.

Entah berapa lama aku tertidur hingga suara ketukkan di kamar kos, membangunkanku. “Siapa…” teriaku dari dalam. Ku berdiri dan mencari saklar lampu kamar. Ternyata sudah malam.

“Aku, Listi,” balas si pengetuk pintu kamarku. “Bentar…,” kata ku lalu mengarah pintu. Listi, dia adalah remaja yang biasa saja. Tingginya 158 centimeter. Rambut ikal panjang sebahu, wajah oval dan memiliki tahi lalat di bibir bawahnya. Berat badannya tidak lebih dari 50 kilogram, dengan ukuran baju medium dan pinggang 28. Soal bra, setahu ukurannya 34.

Hal yang bikin aku penasaran terhadapnya. Ia mahasiswi yang tergolong tak punya masalah soal keuangan. Setahuku dari informasi teman-teman di kampus, orang tua Listi hanya pegawai negeri golongan dua. Tentu, gajinya tidak akan cukup membiaya Listi dan empat adiknya.

Gosip akan Listi menjadi buah bibir di kalangan kampus, khususnya yang seangkatan dengan kami. “Listi, ayam kampus. Dia peliaraannya pengusaha Malaysia .” Begitulah gosip akan Listi.

Keakraban ku dengan Listi terjalin saat pulang ke kampung. Kami bertemu di kereta api. Semalaman suntuk aku dan dia asik bercengkrama di restorasi. Bercerita masa kecil hingga kelak, setamat kuliah.

“Kenapa gak ke kampus. Emang udah gak mau sarjana. Mana janjimu yang akan selesai tahun ini.” Listi mengomel dan mengumpat atas ketidakhadiran ku mengikuti mata ujian akhir.

Aku diam, tak menjawab. Hanya menyalakan rokok dan menguk air putih dalam botol aqua. “Nih ngoceh aja,” kata ku sembari menawarinya rokok. “Jawab dulu pertanyaanku,” katanya.

“Apa kau gak tahu tadi hujan lebat.” Listi menepis alasan itu. “Kau kan bisa pakai jas hujan ke kampus. Dasar malas mu aja yang dituruti,” umpatnya. Aku tak ingin memperpanjang perdebatan dengannya. “Sudahlah, besok aku ke kampus jumpai bu Habibi minta ujian susulan,” jawab ku dengan nada suara pasrah.

Bu Habibi, dosen bahasa Inggris yang dikenal raja tega. Jarang mahasiswa-mahasiswi mendapatkan nilai B. Paling banter memperoleh nilai C alias Cukup. Bu Habibi juga dikenal mata duitan. Bagi yang ingin ujian susulan maka tarifnya akan dinaikkan.

“Lis, kau naik apa kemari,” tanyaku. “Aku diantarin teman. Nanti aku minta dirimu mengantar aku pulang ke kos ya,” katanya. Aku tak ingin menyelidiki siapa yang mengantarnya. Amat sering kami lihat Listi dijemput dengan kendaraan roda empat, produksi Jerman dan Inggris.

Ok, asal kamu traktirin aku makan. “Emang gak punya uang,” balasnya. “Iya, aku lagi bokek nih. Cuma ada 15 ribu di dompet,” jawabku. “Duh…, kasian deh,” ledek Listi. “Ntar aku cuci muka dulu,” jawabku.

Sepeda motor empat tak yang terparkir sejak siang tadi kustater. Yuk berangkat, ajak pada Listi. “Kita makan di KFC, ya. Singgah dulu di ATM, aku mau ambil duit,” katanya.

***

Udara kota ini begitu sejuk. Dingin. Bulan yang mengantung di langit kelam, menjadi pusat indah malam ini.

Usai melakukan transaksi di mesin ATM, Listi kembali naik ke boncenganku. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju restoran siap saji, milik warga abang sam itu.

Aku sengaja mengambil kursi paling pojok. Itu adalah kegemaranku. Dari sini aku bisa memperhatikan siapa saja. Dan melirik wanita yang manis, ayu dan cakep.

Biasanya, etnis cina paling banyak. Wanitanya dengan pakaian minim menjadi santapan mataku. Paha mereka yang mulus, dada yang menyembul dari baju kaos super ketat. Membuat mataku manja dan hayalan untuk melucuti dan bercinta dengan mereka.

Meski terobsesi dengan wanita cina, aku belum begitu berhasrat untuk bercinta dengan mereka. Ya, tentunya dengan wanita etnis cina yang berprofesi sebagai pelacur. Banyak teman yang bilang mereka sangat berkicau saat melakukan making love. Merintih gak karuan.

Dibanding mereka, aku lebih tertarik dengan etnis manggali atau India . Bukan rahasia lagi, di Indonesia semua PSK dari beragam etnis dan ras ada.

“Kenapa, montok payudara cewek itu.” Suara Listi menyudahi tatapan mataku ke arah gadis, kutaksir masih berumur 14 tahun, duduk bersama dua temannya di sisi kanan meja kami. “Ha…ha. Masih tetap montokan payudaramu, Lis,” bisikku padanya. Listi hanya tersenyum dan menundukkan wajahnya ke arah dadanya. “Makasi, pujianmu.”

“Eh, Lis boleh tanya yang pribadi. Tapi kamu jangan marah ya. Karena aku ingin tahu soal,” tak kulanjutkan. Listi melepas sedotan minum dari bibirnya. Matanya melirik tajam ke arahku. Dan mendekatkan wajahnya. “Soal apa. Soal aku yang disebut ayam kampus.”

“Ehem,” suara itu saja keluar dari bibir ku. “Iya, By. Aku ayam kampus. Sama mu aku akan terus terang. Ini kulakukan, ya memang didasari ekonomi. Kau tahu kan, ayahku hanya seorang pegawai rendahan. Jadi, dengan apa yang kulakukan sejak empat tahun ini, demi obsesiku, demi cita-citaku dan untuk meringankan beban orang tuaku. Kalau tidak begini, tentu aku tak bisa menafkahi dan membiaya dua adikku yang kuliah di sini.

Tapi, aku tidak sembarangan, By. Aku hanya menjalin hubungan dan mau diboking oleh mereka yang sudah menikah dan memang hanya menginginkan seks. Tidak lebih. Ya, tak sedikit dari mereka yang mau menjadikan aku simpanan. Tapi kutolak. Itu kulakukan karena aku tidak bodoh. Aku tahu mereka mau jadikan aku simpanan, agar bisa mengikatku, tapi aku tak ingin terikat. Walau imbalan yang mereka tawarankan cukup menggiurkan. Mulai dari rumah, mobil, pekerjaan. Itu kutolak. Aku hanya menyerahkan tubuhku, tidak hatiku.

Kepulan asap rokok dari bibirku, bersamaan dengan kalimat tanya yang kulontarkan pada Listi dengan mimik melucu. “Hatimu buat siapa.” Listi mengerutkan keningnya. Entahlah, By, aku tak punya rasa cinta belum. Yang ada masih uang, uang dan uang. “Pinjamin aku dong,” sambil menelentangkan telapak tanganku ke arahnya.

Listi hanya tersenyum. “Kerja dong,” katanya. Mau kerja apa, Lis. Hari gini ngandalin ijazah SMA. Ya gak laku. Palingan diterima jadi satpam, cleaning service dan sopir.

Obrolan kami terhenti. Dari dalam tas tangan milik Listi, dering telepon menghentikan pembicaraan kami. Aku tak tahu siapa yang menelepon Listi. Pastinya bukan dari seorang pria. Ia menyapa si penelepon dengan kata, siapa ini.
Aku pun tak memperhatikan Listi. Mata ku mengarah kepada satu keluarga yang baru masuk. Pasangan suami istri dengan seorang putranya, kuterka masih balita. Si istri dengan jins dan jaket menyedot perhatian ku. Bibirnya merah merona, bola matanya memakai kontak lensa berwarna biru gelap. Posturnya tinggi dan, hmm, bagian depan jaketnya di buka. Baju kaos dengan kerah rendah se dada menambah indahnya tubuh di bagian itu, dengan dada yang sangat porprosional dengan tubuhnya.
“Prakk..” tangan Listi menjitak kepala ku. “Ntar mata mu terkilir,” katanya. Siapa sih yang nelpon mu, lama kali. Aku juga gak tahu, kata Listi. Tapi, Listi menceritakan, si peneleponnya minta bertemu dengannya malam ini di hotel G.
Kau temani aku ya. Ngapain ke sana, urusan apa, selidik ku. Dia hanya ingin ketemu, aku gak tahu. Okelah, aku temanin.
Setibanya di lobi hotel G. Aku dan Listi disambut seorang perempuan. Ia memperkenalkan namanya, Anna. “Tante Anna, ini temanku, namanya Aby,” Listi menatapku. Kusambut uluran tangan Anna. “Aby,” ucapku. “Anna,” sebutnya.
Lalu Anna meminta duduk di lobi, dia beralasan ingin ngobrol pribadi dengan Listi. Kuturuti saja. Mereka bicara tak lebih dari dua menit, selanjutnya menuju kursi di tempat seorang pria berkemeja putih motif liris dengan dasar coklat muda. Badannya bongsor, postur mirip para bos di beberapa instansi pemerintah.
Mereka terlibat pembicaraan serius beberapa waktu. Itu membuatku jengkel. Ingin aku meng-sms Listi, tapi sial, pulsa lagi tidak ada.
Listi menatapku, lalu memalingkan wajahnya ke Anna. Listi dan si pria bongsor itu meninggalkan lobi, menuju lift. Sehilangnya tubuh kedua dari dalam lift, Anna menghampiri ku.
Sorry, ya dik, bikin kamu menungggu. Hanya senyum yang bisa ku lakukan membalas kalimat Anna. Temannya Listi, bukan pacarnya kan ? Senyumku kembali mengembang di wajah ku yang tak ganteng ini.
Mereka ke mana, tante, balasku. Biasalah kata, Anna lalu menyalakan rokok. Ooo. Kalau begitu saya pamit dulu tante. Mulai ngantuk. Ku mau pulang apa gak nunggu temanmu, palingan mereka dua jam kok di atas.
“Sialan si Listi. Aku jadi satpamnya malam ini,” batinku.
Kita ngobrol di bar aja, yuk. Tawaran Anna sangat berat aku tolak. Bukan karena kesal sama Listi. Tapi, karena Anna terus memberikan gerak tubuh bikin aku penasaran, apa maunya.
Kutaksir, Anna umurnya masih sekitaran 41 tahun, rambutnya pendek, posturnya 153 centimeter. Kulitnya sawo matang. Dengan ciri seperti itu, dia bukanlah perempuan yang menarik.
Malam ini, tante Anna memberikan magnet yang membuat aku tak ingin meninggalkannya. Ia mengenakan blazer krim dipadu dengan blus merah jambu, bawahannya ia memakai rok selutut dengan telapak kaki dibaluk sepatu ber hak.
Entah kenapa, aku begitu tertarik dengan wanita yang rapi, apalagi yang mengenakan seragam kantoran.
Tak dinyana, Anna langsung mengapit tanganku di bawah ketiaknya. Tentu saja, kulit depan jemariku tak bisa menghindar dari tumpukan daging di dadanya. Lembut, seakan ia tak mengenakan bra.
Memasuki ruang bar juga satu ruangan dengan live music. Kami disambut dengan alunan musik romantis dari album Celine Dion.
Anna melepas tangan ku dan memberi isyarat kursi di pojok sebelah kiri pintu masuk. Dia menuju meja bartender, lalu menuju meja telah aku duduki.
Anna tak langsung duduk, dia menanggalkan blazernya. Dan gerak bibirnya mengikuti sair lagu celine dion yang dilantunkan penyanyi live music di tengah ruangan ini.
Huh…, suara Anna itu melesit dari bibirnya yang telah disuguhi rokok.
Seorang pramuria mendekati kami dan menyuguhkan dua gelas koktail. “Aby sudah makan. Mau pesan makanan apa,” tanya Anna. “Udah tante, masih kenyang,” jawabku.
Dengan gerakkan tangan, pramuria berkaos dengan kerah seperti dirobek, dipadu dengan rok merah sebatas paha, meninggalkan meja kami. “Jangan panggil, tante. Kesannya negatif banget. Panggil Anna aja, cukup,” mintanya.
***
Koktail di gelas kami nyaris habis. Irama musik dari mellow berganti dengan house. Anna menarik tanganku, dan mendekatkan wajahnya pada. Bibirnya menyentuh daun telinga ku. Dengan berbisik, ia minta aku menemaninya menuju panggung live. Di sana, telah ramai beberapa pasangan, bergaya triping.
Ajakan ini tentu tidak kutolak. Kurangkul pinggangnya, dan cha-cha bersama. Kurang dari lima menit, Anna meminta kembali ke kursi. Belum sempat pantatku duduk di kursi. “Aby, kita ke kamar aja, yuk. Udah ngantuk nih,” ajak Anna.
Gerakkan tubuh Anna mulai tak seimbang, ia sudah dipengaruhi alkohol. Kurangkul pinggangnya menuju lift. Di dalam lift, ia memelukku, dan mengecup leherku.
Anna sudah dalam kondisi antara sadar dan tidak. Begitu tiba di kamar, ia langsung membaringkan tubuhnya dengan posisi telentang. Bibirnya mengeracau. Aku hanya memandangi sosok perempuan di depan ku. Ingin aku menyetubuhinya. Mengisap putingnya, menjilati lehernya dan melucuti pakaiannya.
Akh, aku belum pernah melakukan itu. Bahkan dengan mantan pacarku.
Aku menuju kamar mandi, merendam diri dalam bathup. Handphoneku berdering. Aku keluar bathup dalam keadaan polos, menuju sisi tempat tidur tempat handphoneku.
Kulihat, Listi yang menelepon. “Aby kamu masih sama tante Anna, kan . Met bersenang-senang ya. Eh, ntar jam 8 kita pulang bareng lagi ya,” kata Listi tanpa menunggu ucapan ku.
Huh…sial. Kau yang enakan di sana, aku di sini.
Mata ku kembali tertuju kepada Anna. Posisinya tetap telentang. Kudekati dan kubisiki dia agar mau mandi. Anna hanya memelas, dan menarik kepalaku. Matanya terbuka, dan melihat ku bugil Anna tersenyum lalu, membenamkan kepalaku ke dadanya.
“Puaskan aku sayang…”
Rada gemetaran, tanganku melepaskan kancing yang masih mengait di blusnya. Wah, mode bra yang dikenakan Anna menambah nafsuku. Aksi memploroti kini pada roknya. Lagi, lagi undearwer yang dikenakan makin memacu birahiku.
Dengan kebaranian nafsu dan fantasi di kelapa ku. Aku mulai menjilati lutut hingga leher Anna. Ia mengelincak, gerakkan tubuhnya menandakan kenikmatan mulai meresapinya. Jilatan terus kugencarkan di dadanya, bra kubuka, putinyanya kukulum dan kugigit ujungnya.
Anna, berteriak kecil, menarik rambutku, dan terus mericau memohon disetubuh. Selagi bibirku bermain di payudaranya, berukuran 34, tangan kananku menyelip di balik undearwer bawahnya.
Memasuki areal vaginanya, jemariku menyentuh bulu-bulu, sepertinya terawat. Jari tengahku merambat masuk di bibir klistornya. Anna mengangkat pantatnya.
Lendiran dari vagina makin banyak. Dengan mengangkat kepala ku, Anna meminta vaginanya dijilati. Aku tak mempedulikannya, bibirku langsung menyerang bibirnya. Gigitan kecil kulakukan di ujung bibirnya. Jilatanku kutarik dari bibirnya, leher, kulut dada, payudaranya.
Jilatanku terhenti di pusarnya, dan merambat turun ke vaginanya. Anna menjerit kecil, jeritannya disertai muncratan lendir dari dalam. Kusadari, Anna sudah mencapai orgasme awalnya.
Kontol ku yang menegang dan andrenalin birahiku sudah memuncak. Langsung kukerahkan tenaga dengan lesatan kontol ku dalam vaginanya. Anna tersentak. Tubuhnya terangkat, ia hanya terkejut sesaat.
Tersenyum dan merangecup bibirku. Kurasakan Anna mulai menggoyang pinggulnya. “Kontolmu panjang sayang. Aku suka,” katanya. Aku terus memompa vagina Anna. Ricauannya Anna makin menjadi, ia meremas payudaranya sendiri dan menggigit bibirnya.
Pompaanku makin lama makin mengendur. Kontolku terasa berdenyut-denyut. Eranganku tertahan. Anna, dengan cepatan mendorongku, hingga kontolku terlepas.
“Tarik nafas dan tahan, Aby…tahan.” Anna merintahku. “Ayo lakukan lagi, aku gak ingin kamu orgasme dulu,” pintanya. Saran Anna ternyata benar. Denyutan di kontolku mulai berkurang, kurasakan aliran sperma kembali masuk ke dalam kantong kontolku.
Kunyalakan rokok, Anna tersenyum melihat aksiku. Kudekati dia, dan memintanya bergaya doggystyle. “Kamu tahu aja,” Anna tersenyum meraih kontolku. Dikecupnya dan dijilatnya lendiran miliknya di kepala kontolku.
Anna turun dari kasur, dan mengambil sikap diggystyle. Dengan pelan, kumendorong kontolku. Bles…kubiarkan beberapa detik hingga Anna memalingkan wajahnya ke belakang. Dia tersenyum, tangannya mencubit paha ku. “Kamu nakal, bisa aja bikin orang nikmat,” katanya.
Pompaan kontolku tidak bertahan lama, Anna terus memintaku bertahan. “Sayang, tahan. Kita sama-sama, pintanya…,akh..terus sayang..oh…hhhh.” Anna merebahkan tubuhnya, aku pun turut merebahkan tubuhku di atas tubuhnya, dengan posisi telungkup.
Kelelahan yang baru saja kami gapai, membuat kami terlupa dan tertidur.
Ketukkan keras di pintu membangunkan. Sedikit menggerutu. Masih jam 10 pagi, siapa yang mengetuk pintu kamar. Sebelum bangkit dari springbed, mataku menyapu kamar hotel ini. Anna, ke mana dia.
Kupakai celana jinsku, tanpa cd. Menuju kamar mandi. Anna tidak ada. Ketukkan di pintu disertai suara makin keras. “Aby…aby buka. Ini aku Listi.”
“Iya, sebentarrr…,” teriakku membalas.
“Huh..ngapain sih. Lama kali bukain pintu,” celoteh Listi begitu daun pintu kamar terbuka. Aku masuk ke kamar mandi. Membasuh muka, dan menggosok gigi.
Begitu keluar, kulihat Listi di meja rias, berada di samping TV LCD. Dia mengambil amplop dari atasnya, dan membuka. “O..o,” kata Listi. Aku jadi penasaran. “Apa itu,” tanyaku. “Nih buat kamu,” Listi beranjak dan meletakkannya di atas kasur.
Amplop putih panjang itu kuraih dan kubuka. Wah, lembaran uang seratus ribu sebanyak 15 lembar. Di salah satu lembaran uang, ada tanda lipstik dan beberapa kata. “Aby, I love you. Ini nomor kontakku dari Anna.”
Kukeluarkan lembaran itu dan kuselipin di dalam dompet. Listi tersenyum. “Ehem… ada yang penasaran nih,” ucap Listi. “Ini semua karenamu. Udah akh, ntar aku mandi dulu, baru kita tinggalkan hotel ini.”
***
Suasana kampus begitu sepi. Kalau bukan karena ujian ulangan semester, tentunya aku sudah ada di kaki gunung sibayak. Bermalam di sana dengan teman-teman mapala. Menghabiskan waktu, dan bercerita akan hidup dan penghidupan, esok.
Hari ini aku harus meminta ujian ulangan kepada Bu Habibi. Memasuki ruang akademik, suara riuh-rendah terdengar, diselingi tawa dari para staf dan beberapa dosen.
Pintu yang terbuka, kuketok. Bu Habibi memalingkan wajah, merespon ketukan di pintu. “Maaf bu, saya aby. Ingin ngajuin ujian susulan,” kataku dengan nada sedikit memelan. Wajahku sengaja aku tundukan.
Bu Habibi menggeser duduknya, dan mulai bertanya alasan kenapa tidak mengikuti ujian kemarin. “Kamu ke mari dulu,” katanya. Ia menuju ruangannya.
Hari itu Bu Habibi kelihatan ceria, tidak seperti biasanya, selalu menunjukkan wajah yang tak berteman kepada mahasiswa. Berbalut kemeja liris dan celana panjang goyang, dengan syal di lehernya. Bu Habibi, meski sudah berumur 48 tahun, tubuhnya keliatan terawat.
Dengan menjaga sikap, aku duduk di depannya. “Kenapa kemarin kamu gak masuk?,” pertanyaan ini diulangnya kembali. “Maaf, bu, kemarin saya tidak bisa bangun. Badan saya terasa panas bu,” kataku berbohong. “Oh, ya. Demam,” katanya. Tiba-tiba ia menjulurkan tangannya ke arah leherku. Badannya terangkat di meja. Aku menyodorkan leherku. Kondisi ini memaksuku melihat celah dari kerah bajunya. Bra berwarna merah yang ia gunakan terlihat jelas. Daging payudara di balik bra itu begitu putih dan mulus. Untuk beberapa saat ia menempelkan tangannya di leherku, tanpa menyadari mataku menjelajahi buah dadanya.
“Badanmu masih panas,” katanya. Plong, hati ku senang. Untuk tadi aku tidak memakai jaket saat menuju kampus. Dengan begitu sinar matahari yang menyegat tubuhku masih tersimpan.
“Ujian susulannya di rumah saya saja. Kamu datang jam 7 malam. Jangan telat. Hari ini saya harus ke kampus U** ada ujian setangah jam lagi di san. Ingat jangan telat,” katanya. “Iya, bu, saya pasti tepat waktu,” jawabku.
Ini baru jam 2 siang. Masih banyak waktu sebelum ke rumah bu Habibi. Dengan langkah malas, aku menuju parkir kampus. Telepon genggamku berdering. Ternyata Listi yang menelpon. “Ya, Lis. Ada apa,” jawabku. “Di mana By, aku mau minta tolong nih. Anterin aku ke stasiun. Aku mau pulang kampung,” katanya. “Tumben pulang kampung,” balasku. “Udah, bisa gak anterin aku,” cercanya. “Iya…iya, 15 menit lagi aku sampai di kosmu. Siap-siap ya.”
Listi sudah menunggu di depan kosnya. “Ke mana adik-adikmu,” tanyaku. “Mereka sudah pulang tadi malam. Ayahku sakit keras, aku khawatir ada apa-apa dengan mereka. Ibuku tadi menangis minta aku pulang,” katanya.
Dalam perjalanan menuju stasiun kereta, kami berdiam diri. “Lis, kamu pegang aja uang ini. Semoga bisa meringankan musibah yang sedang kamu dan keluarga hadapi,” kataku. Amplop berisi uang pemberian Anna kuserahkan kepadanya. Listi terperangah. “By, gak usah ini uang kamu. Aku gak mau,” katanya. “Udah, gak usah menolak, aku ikhlas. Mungkin hanya ini yang bisa aku bantu,” kataku. “Terus kamu gimana, kan lagi gak punya uang,,” katanya. “Tenang aja, kiriman dari kampung sudah masuk kok ke atm ku,” alasanku.
Wajah Listi berubah. Dan, kali pertama ini aku melihatnya menangis. Ia memelukku. “By, kamu sahabat yang baik. Aku sayang kamu,” katanya. Lalu tak sungkan di depan umum, ia mengecup pipiku. “Gila kau, Lis, ini di jalan,” kataku. Dia tersenyum. “Ntar malam kita telponan ya,” katanya. Kutinggalkan Listi di stasiun. Aku memacu kendaraanku menuju kos. Aku harus belajar persiapan ntar malam.
Jam 6.25 menit, sore itu ku sudah berbenah diri di dalam kamar kos. Memakai kemeja putih tangan panjang yang dilipat sampai siku, dipadu dengan jins biru memiliki koyak di lutut kiri, dengan sepatu traking bututku. Aku merasa siap menghadapi ujian semester akhir ku. “Aku harus mendapatkan nilai yang terbaik,” tekadku.
Mendekati rumah bu Habibi, kuhentikan roda kendaraan. Pagar hitam dari besi tinggi tertutup rapat. Halaman rumah ini begitu asri, ditumbuhi pohon mangga dan dikelilingi bunga ditata rapi. Untuk kota ini, kawasan pemukiman ini komplek elit, dan begitu tersoroh.
Kuteken bell yang ada di pagar. Tak lama, perempua tua keluar dengan berlari-lari kecil. “Mahasiswa ibu, ya,” tanyanya. “Iya, nek. Bu dose nada,” balas ku. “Baru nyampek rumah. Tadi nyonya bilang akan ada mahasiswanya akan datang. Nyonya suruh, tunggu di samping sana aja. Silakan masuk,” ucapnya. Usai menghidangkan teh, si nenek pun kembali masuk ke bangunan yang berada di bagian belakang dari gedung induk. Rumah dosen ku ini terbagi dalam dua bangunan. Bangunan utama memiliki pintu samping, tempat aku menunggu, di bagian belakang, kamar tempat si nenek tadi masuk dan menghilang.
Tiba-tiba pintu samping tempatku duduk dibuka dari dalam. Aku pun berdiri mengetahui yang muncul adalah bu Habibi. Wah, terlihat ia baru saja mandi, rambutnya sebahu berwarna pirang masih terlihat basah. Dan, yang mengejutkanku adalah busana yang dikenakannya. Memakai kaos oblong berwarna pink yang begitu ketat hingga membentuk tonjolan payudaranya. Dan, tanpa sungkan, ia hanya mengenakan celana ponggol sebatas lutut.
“Maaf, bila penampilan saya menganggu kamu. Saya begini kalau di rumah,” katanya. Ucapan itu langsung menyadarkanku, akan si pemilik tubuh 155 centimeter dengan kulit sawo matang bersih ini, merasa diperhatikan. Aku hanya diam, tak menjawab. Menundukkan kepala dan kembali duduk.
“Di minum tehnya. Dan ini tolong kamu jawab soalnya. Saya beri waktu 1 jam.” Habibi kembali masuk ke dalam rumahnya. Sepi, tinggal aku sendiri berada di beranda samping dengan memegang tiga lembar soal yang harus kukerjakan demi cita-citaku.
Di tengah keasikanku mengerjakan soal. Si pembantu menyapa ku. “Nak, apa sudah siap mengerjakannya. Kalau sudah siap tinggalin saja di meja biar nenek yang antar sama ibu,” kata si pembantu. “Belum nek, lumayan sulit nih soalnya. Oh, ya siapa aja di rumah ini nek,” balasku. Dari penjelasan si pembantu bu Habibi, aku tahu, dosenku hanya tinggal berdua dengan suami. Saat ini suaminya, juga seorang dosen tengah berada di Singapura untuk kepentingan akademis. Sementara tiga anak mereka kuliah di Yogyakarta.
Akhirnya aku selesai juga mengerjakan soal ini. Namun, si pembantu tak kunjung tampak. Kupanggil, tak ada sahutan. Sementara dari ruang tamu di rumah itu, terdengar suara tertawa dan bercengkarama si dosen. Tanpa mengingat pesan si nenak, aku beranjak ke dalam.
Di ruang tamu, si dosen sedang bercengkrama dengan seorang wanita, yang membelakangi ruang beranda, tempatku. “Maaf, bu. Saya sudah siap mengerjakannya,” sela ku. Sembari menunduk aku menyerahkan kertas jawaban.
Tiba-tiba ada tepukan di pundak ku. “Aby…!!!,” berbarengan suara memanggil namaku dengan tepukan di pundakku. Aku menoleh dan terperanjak. “Tante Anna,” balasku pada wanita, teman si dosen bercengkrama. “Lho, kamu mahasiswa si Habibi, ya,” tanyanya. Aku tak menjawab, aku melirik bu Habibi. “Kalian saling kenal,” sahut bu Habibi. Belum sempat aku menjawab, tante Anna membalas. “Ya, Bi, dia temen aku. Plisss…kasih nilai yang bagus ya,” katanya. “Aby, si Habibi dosen kamu ini temen aku sejak kuliah. Tenang aja, kamu lulus kok mata kuliah dia, aku jaminannya,” tante Anna.
Agar tidak terungkap rahasia antara aku dan tante Anna. Aku pun meminta pamit. Namun, dosenku melarang, dan meminta duduk untuk bergabung dengan mereka. Aku kikuk. Enggak tahu harus seperti apa. Suasana itu membikin tante Anna tertawa sejadi-jadinya. “Aby, kamu kok seperti orang ketakutan gitu ada apa,” tanyanya. Aku tak menjawab, wajahku hanya memberikan senyum.
“Kalian udah pacaran ya,” suara bu Habibi menyentakku kaget. Aku hanya meliriknya dengan wajah seperti orang bersalah. Anna malah tertawa. “Kalau iya kenapa Bi. Kamu mau?,” balasnya. Hmm. Dah akh, aku ke dalam dulu ya. Bu Habibi meninggalkan kami.
Anna mendaratkan ciuman ke pipiku. Tangan kanannya meremas kontolku. Kukira itu hanya untuk sesaat, pelepas kangen dengan percintaan kami kemarin malam. Tak dinyana, tante Anna malah merabaku dan terus-terus melancarkan serangannya. Mendapati hal ini aku tak bisa menahan diri.
Gelegar halilintar menghentikan percumbuanku dengan Anna. Dia tersenyum dan merapikan kerah baju dan rambutnya yang awutan. Suara mendehem terdengar. Bu Habibi datang dengan membawa tiga gelas dan satu botol anggur. “Mari kita rayakan hubungan kalian,” katanya.
Kecanggunganku pun akhirnya sirna dengan tuangan-tuangan anggur yang kuteguk dan menjalar hingga ke tenggorokanku. Seperti buliran kenikmatan yang kuraih dari tubuh tante Anna terus merasuki dalam tubuhku. Dan, entah bagaimana mulanya, aku memberanikan diri mencium bu Habibi. Dia hanya tersenyum dan membalas ciumanku.
Suasana rumah yang sepi, bumi yang diguyur hujan deras. Ku berada di antara dua wanita berusia 40-an tahun yang mengerti dan sangat menuntut akan hubungan badan. Kubaringkan tubuh dosenku di sofanya. Kugigit payudaranya dari luar kaos ketatnya. Ia meringis, kenikmatan. Tangan kananku membelai vaginanya dengan media kain celana yang dikenakannya. Dari arah belakang ku, tante Anna terus memeluk dan menjilati leherku. Tangannya menyelip di balik jinsku.
Habibi dengan sendiri membuka bajunya. Payudaranya masih segar dan menantang, tak kendur maupun. Tante Anna mulai meloroti celanaku. Kontolku yang sudah pada tegangan maksimal langsung digenggam bu Habibi. Dia hanya tersenyum dan mengerlingkan matanya pada ku. Dengan lembut dia pun mengulum dan terus mengulum.
Anna terus mendesah, gigitan yang kuberikan pada payudaranya membuat Anna tak dapat menahan orgasme. Dia terus berkeracau membuat permainan ini semakin menggairahkan. Tanpa menghiraukan keasikan Habibi. Anna meraih kontolku, dan membalikkan tubuhku. Anna berposisi nungging. Bles…, kontolku langsung menerkam vagina Anna. Dia menjerit kecil dan terus memohon padaku untuk memompa vagina.
Tiga menit aku memompanya, Anna pun ambruk. Habibi yang dari tadi terus merangkulku dan melumat bibirku. Langsung mengambil posisi di atas sofa. Pahanya direnggangkan, liang vaginanya begitu jelas terbuka. Kuarahkan kontolku ke bibir vaginanya.
Dengan pelan kutempelkan, lal kutarik ke atas dan ke bawah bibir vagina Habibi yang sudah basah. Dosen ku ini menggigit bibirnya, memeramkan mata. “Aby, kamu bisa aja.”
Kutekan kepala kontolku ke dalam vaginanya, rada sempit. Kutarik lagi, perbuatan itu kulakukan untuk dua menit, hingga Habibi mengalami orgasme. Meski sudah mendapatkan puncaknya, bu dosen tak ingin kumenjauh darinya. Dia beridir dan menggigit putingku. Ini adalah daerah kelemahan ku.
Membalas perbuatannya, aku mengarahkan kontolku ke vaginanya. Kami berposisi berdiri. Kuangkat kaki kirinya dan kuletakkan di sofa. Pompaanku makin gencar, Habibi menjatuhkan wajahnya di pundakku. Kedua tangannya memeluk pinggangku dengan erat.
Tekanan kontolku makin kuat dan kudiamkan beberapa saat di dalam vaginanya. Habibi mengerang dan kuminta ia untuk menggoyangkan pinggulnya. Aku menurunkan bokong, seiring dengan keluarnya kontolku. Serangan kembali, pompaanku makin gencar, hingga Habibi dengan suara teriakan tertahan menjatuhkan dirinya di sofa. Di hadapan kedua wanita ini, aku mengocok kontolku hingga spermaku muncrat di dada mereka berdua.
Huh…sungguh malam yang ingin kuulang sekali lagi.